Mampukah Pendidikan Islam Menjawab Tantangan Moral Generasi Z?

 


Foto : Hamdan Mahasiswa S3 Prodi Studi Islam UNUJA dan Dosen IAI Qomarul Huda Bagu Lombok Tengah

 

Pendidikan Islam mampu membimbing Generasi Z menghadapi tantangan moral era digital, asalkan bersedia bertransformasi dari pendekatan dogmatis menjadi dialogis, kritis, dan relevan dengan kebutuhan mereka



 Penulis : Hamdan*)

Generasi Z—mereka yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an—adalah generasi pertama yang sepenuhnya tumbuh dalam ekosistem digital. Aksesibilitas informasi yang tak terbatas membentuk cara pandang, interaksi sosial, dan struktur moral mereka secara fundamental berbeda dari generasi sebelumnya. Di satu sisi, Gen Z dikenal inklusif dan sadar isu sosial; di sisi lain, mereka menghadapi tantangan moralitas yang kompleks, seperti krisis identitas, cyberbullying, paparan konten negatif, dan relativisme nilai. Pertanyaan krusial pun muncul: Mampukah pendidikan Islam, dengan kerangka tradisionalnya, secara efektif menjawab dan menavigasi tantangan moral yang dihadapi oleh generasi Z ini?. Maka tentu Jawabannya adalah mampu, asalkan bersedia bertransformasi. Potensi ajaran Islam yang kaya akan nilai-nilai kemanusiaan universal sangat relevan untuk membimbing Gen Z menemukan kompas moral mereka.

Namun, potensi tersebut hanya dapat terwujud jika para pemangku kepentingan pendidikan Islam—guru, ulama, orang tua, dan institusi—mau mereformasi pendekatan, membuka diri terhadap dialog kritis, dan mengadopsi medium komunikasi Gen Z. Tantangan ini bukan tentang mengubah ajaran Islam, melainkan mengubah cara kita mengajarkannya. Dengan pendekatan yang empatik, relevan, dan adaptif, pendidikan Islam dapat menjadi mercusuar yang membimbing Generasi Z di tengah samudra tantangan moralitas digital.

Dari Dogma ke Dialog

Tantangan terbesar pendidikan Islam dalam mendekati Gen Z terletak pada pendekatannya. Generasi Z cenderung skeptis terhadap otoritas tunggal dan menolak dogma yang disampaikan secara satu arah tanpa ruang diskusi. Mereka haus akan justifikasi logis, relevansi kontekstual, dan dialog yang setara.

Model pendidikan Islam yang masih didominasi oleh metode hafalan, indoktrinasi, dan penekanan pada aspek sami'na wa atha'na (kami dengar dan kami taat) tanpa penjelasan mendalam, sering kali kontraproduktif. Gen Z membutuhkan ruang untuk bertanya "mengapa?" dan "apa relevansinya dengan hidup saya?". Agar relevan, pendidikan Islam harus mentransformasi diri dari metode instruksional menjadi fasilitatif, membuka pintu ijtihad personal yang terbimbing, dan merangkul nalar kritis yang menjadi ciri khas generasi ini.

Konten di Era Relativisme Moral

Disisi lain, Generasi Z sudah terlalu dalam terpapar oleh arus informasi global yang menawarkan beragam perspektif moral dan etika. Akibatnya, mereka cenderung mengadopsi relativisme moral—anggapan bahwa benar dan salah bersifat subjektif atau tergantung pada konteks budaya—yang sering bertentangan dengan absolutisme nilai dalam ajaran Islam.

Pendidikan Islam perlu menunjukkan keluwesan dan kedalaman ajarannya dalam menanggapi isu-isu kontemporer yang nyata dihadapi Gen Z, seperti kesehatan mental, kesetaraan gender, lingkungan hidup, dan etika digital. Jika pendidikan Islam gagal menyajikan solusi etis yang komprehensif dan aplikatif terhadap isu-isu ini, ajarannya akan dianggap usang dan tidak relevan. Materi ajar harus dikemas ulang agar mampu menjembatani teks-teks klasik dengan realitas modern Gen Z.


Agar tetap efektif dan didengar, pendidikan Islam harus mengemas ulang ajaran dan memanfaatkan teknologi serta medium komunikasi Gen Z, sehingga nilai-nilai Islam dapat tersampaikan secara empatik, aplikatif, dan kontekstual


Teknologi sebagai Medium Dakwah

Paradoksnya, alat yang menciptakan banyak tantangan moral bagi Gen Z (media sosial, internet) juga merupakan medium paling efektif untuk menjangkau mereka. Generasi Z menghabiskan sebagian besar waktu mereka di platform digital. Pendidikan Islam tidak bisa lagi hanya mengandalkan mimbar masjid atau ruang kelas formal.

Diperlukan adaptasi yang strategis dengan memanfaatkan influencer Muslim yang kredibel, konten visual menarik (video pendek, infografis), dan platform interaktif untuk menyebarkan nilai-nilai Islam. Pesan moral harus disampaikan secara ringkas, menarik, dan mudah diakses, tanpa mengorbankan kedalaman substansi. Ini adalah medan dakwah baru yang harus dikuasai jika ingin pendidikan Islam tetap eksis dan didengar oleh Gen Z.

 

*) Penulis adalah mahasiswa S3 Prodi Studi Islam UNUJA dan Dosen IAI Qomarul Huda Bagu Lombok Tengah

Post a Comment

أحدث أقدم