Ilustrasi, ai.
jika sistem ekonomi Islam ingin menjadi landasan ideal, maka ia harus diinstitusionalisasikan dan dipraktikkan melalui instrumen-instrumen yang sesuai agar dapat mencapai tujuan yang diharapkan
oleh: Dedi Riswandi, Khaeri*)
Ekonomi Islam, jika dilihat sebagai suatu sistem, adalah cara atau mekanisme untuk menjalankan kegiatan ekonomi sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Dari mulai produksi, distribusi, hingga konsumsi. Dalam konteks ini Manan (1993) mengungkapkan, bahwa masyarakat menentukan: (1) apa yang diproduksi? (2) bagaimana memproduksinya?, termasuk (i) institutsi-instrumen yang digunakan; dan (ii) pola alokasi sumber daya, dan (3) bagaimana kepemilikan pribadi diberlakukan dan distribusinya. Dua sistem besar lainnya, kapitalisme dan sosialisme, biasanya dikontradiksikan dengan merujuk pada variabel-variabel berikut: apakah desentralisasi atau sentralisasi, apakah market atau planned, apakah private atau public, dan apakah material atau moral. Sementara mixed sistem, seperti telah diduga, berusaha menjembatani kedua kutub ekstrem tersebut.
Dengan memperhatikan variabel-variabel yang telah disebutkan, sistem ekonomi Islam dapat dikenali melalui ciri-ciri dan operasionalnya. Hal ini tercermin dalam keberadaan institusi sebagai penyelenggara aktivitas ekonomi, penggunaan instrumen seperti kebijakan fiskal, moneter, dan nilai tukar (exchange rate) untuk kepentingan sosial (social goods), serta pola alokasi sumber daya—apakah bersifat komando atau pasar, tersentralisasi atau desentralisasi.
Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa meskipun sistem ekonomi Islam bersifat fundamental, kinerjanya tetap dipengaruhi oleh variabel-variabel lain. Oleh karena itu, jika sistem ekonomi Islam ingin menjadi landasan ideal, maka ia harus diinstitusionalisasikan dan dipraktikkan melalui instrumen-instrumen yang sesuai agar dapat mencapai tujuan yang diharapkan.
Jika ditelaah lebih lanjut, maka setiap variabel sebenarnya akan mempunyai korelasi satu sama lain. Sebab, dinyatakan pula bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi sistem ekonomi -juga dalam system ekonomi Islam - di antaranya adalah faktor tingkat pembangunan ekonomi yang dinyatakan dengan berbagai indikatornya, faktor sosial dan budaya seperti ideologi terlebih agama (Chapra, 2001) dan juga faktor lingkungan seperti populasi dan demografi. Sebagai contoh, tingkat pembangunan ekonomi sebagai economic outcomes akan mempengaruhi sistem ekonomi Islam, pada saat sistem yang digunakan ditinjau kembali. Melalui berbagai indikator kinerja tersebut akan dievaluasi apakah sistem ekonomi Islam yang digunakan dapat mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan atau justru sebaliknya.
Dengan demikian, disini menjadi jelas bahwa sistem ekonomi akan mempengaruhi kinerja perekonomian. Economic outcomes atau kinerja perekonomian dapat bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Ilmu ekonomi cenderung menitikberatkan pada ukuran kuantitatif, karena terpengaruh pandangan Newtonian-cartesian. “Misalnya saja yang digunakan biasanya adalah ukuran-ukuran seperti pertumbuhan (growth), level output, effisiensi -statis maupun dinamis, stabilitas harga (inflation) dan seterusnya”, demikian sinyalemen Todaro (1998).
Padahal sistem ekonomi Islam yang juga merupakan bagian dari ilmu ekonomi yakni merupakan ilmu yang paling bergantung pada nilai dan dinilai paling normatif di antara ilmu-ilmu sosial lainnya. Model dan teorinya akan selalu didasarkan pada sistem nilai (baca: Islam) pada pandangan tenang hakikat manusia tertentu, pada seperangkat asumsi yang disebut sebagai meta-ekonomi karena tidak pernah dimasukkan secara eksplisit pada ekonomi kontemporer. Ekonomi kontemporer, dengan tujuan memberikan keketatan ilmiah pada disiplinnya, telah menghindari isu nilai tersebut. Akan hal ini, F.B. Hardiman menegaskan: Berkecenderungan kuat untuk menjadi positivis, menjauhkan betul dari normativisme.
Penghindaran isu yang terkait dengan nilai itu telah menyebabkan ahli ekonomi mundur ke masalah-masalah yang lebih mudah tapi kurang relevan, dan menutupi pertentangan-pertentangan nilai yang terjadi dengan menggunakan bahasa teknis yang panjang lebar. Pilihan-pilihan sosial dan moral beralih menjadi sekedar pilihan yang bersifat pseudo-teknis yang diam-diam menyembunyikan konflik nilai tersebut.
Pilihan-pilihan sosial dan moral beralih menjadi sekedar pilihan yang bersifat pseudo-teknis yang diam-diam menyembunyikan konflik nilai
Seperti telah disebut di atas, nilai yang muncul dalam model ekonomi belakangan ini hanyalah nilai kuantitatif yang cenderung mengabaikan faktor sosial psikologis, filosofis, dan juga budaya. Sejak ilmu ekonomi menjadi ilmu yang spesialistis dan “dipisahkan” dari induknya yaitu ilmu sosial dan ilmu moral (khususnya oleh Paul Samuelson dan Lionel Robbins), terutama dengan digunakannya matematika (ekonometri), ilmu ini memang terasa makin “kering”, “tidak realistis” dan makin “tidak relevan”. Itulah sebabnya di Amerika terbit buku Is Economics Relevant? (Heilbroner & Arthur Ford, 1971), dan What’s Wrong With Economics (Benjamin Ward, 1972). Meskipun demikian, terbitnya buku-buku ini tetap saja tidak mampu menghentikan kecenderungan makin menjauhnya ilmu ekonomi dari ilmu-ilmu sosial dan moral tersebut. Orang mudah lupa bahwa Adam Smith tidak hanya menulis Wealth of Nations (1776), tetapi 17 tahun sebelumnya juga menulis buku The Theory of Moral Sentiments tahun 1759 (Mubyarto, 2024).
Padahal hakikat menunjukkan kenyataan suatu peristiwa ekonomi yang terdiri dari faktor-faktor dan hubungan sebab dan akibat. Ini merupakan asas-asas ekonomi yang berlaku dimana saja dan kapan saja serta bersifat bebas nilai. Peristiwa demikian ini merupakan peristiwa ekonomi mikro yang justru menjadi sendi ilmu ekonomi mazhab manapun. Oleh karena itu, dapat disebut ekonomi positif. Analisis positif merupakan telaah ilmu pengetahuan ekonomi. Apabila melakukan suatu analisis positif, ahli ekonomi menerangkan perekonomian tertentu dan menelaah kaitan sebab dan akibat.
Sedangkan analisis normative adalah telaah tentang apakah kebijakan atau hasil itulah yang memang diharapkan atau tidak diharapkan, dan apa, bagaimana atau apakah mengganti sesuatu untuk mencapai hasil yang mungkin paling baik. Analisis positif adalah bebas dari value judgement mengenai apakah hasilnya benar atau salah. Sementara analisis normative pada dasarnya tergantung pada value judgement tentang hasil apa yang baik dan yang buruk, dan hasil apa yang terbaik.
Ekonomi Islam mempelajari apa yang terjadi pada individu dan masyarakat yang perilaku ekonominya diilhami oleh nilai-nilai Islam. Berikut argumentasi yang dikembangkan oleh para pemikir ekonomi Islam terkait hal tersebut. Sebagaimana dikutip Euis Amalia (2012, 29-30) meliputi beberapa hal berikut: Pertama, ilmu ekonomi Islam penuh dengan nilai-nilai. Ilmu ekonomi Islam jelas akan melakukan fungsi penjelasan terhadap suatu fakta secara obyektif. Ia juga melakukan fungsi prediktif seperti yang dilakukan oleh ilmu ekonomi konvensional. Dalam menjalankan kedua fungsi ini, ia menjalankan fungsi utama sains secara positif atau menjelaskan “apa” (what is). Namun kiprahnya tidak hanya terbatas pada aspek positif berupa penjelasan dan prediksi saja. Pada tahapan tertentu ia juga harus melakukan fungsi normative, melakukan penilaian (value judgement) dan menjelaskan apa yang seharusnya (what should be). Ini berarti bahwa ilmu ekonomi Islam bukanlah bebas nilai (value neutral). Ia memiliki seperangkat nilainya sendiri, kerangka kerja nilai-nilai dimana ia beroperasi. Karena itulah, pengembangan ekonomi Islam tidak dapat dilakukan secara isolative atau parsial, ia hanya dapat dilakukan dalam konteks peneguhan nilai-nilai Islam dalam perekonomian.
Kedua, dalam kerangka ini, hubungan-hubungan teknis akan dipelajari dan dikembangkan dengan tetap mempertimbangkan dimensi kemaslahatan (maslahah) dan tetap dalam konteks kerangka nilai. Dengan demikian, ilmu ekonomi Islam tidak hanya berbicara tentang bagaimana perilaku manusia ekonomi (economic man) dalam lapangan ekonomi, tetapi juga bagaimana suatu disiplin normative dapat diimplementasikan dan diinternalisasi ke dalam diri manusia sehingga sasaran yang dikehendaki dapat diwujudkan, yakni mencapai falah (kesejahteraan dan kebahagiaan hidup dunia dan akhirat).
Ketiga, karena citranya yang demikian, terdapat peran sektor pemerintah terhadap perilaku manusia agar tetap berada pada arah realisasi dan pencapaian nilai-nilai tersebut. Hal ini menjadikan lingkup kajian ilmu ekonomi Islam lebih luas dan konprehensif. Lebih konprehensif karena ia bukan hanya berbicara tentang motif tetapi juga perilaku, lembaga dan kebijakan. Ia mempelajari perilaku manusia seperti apa adanya, namun ia juga memiliki suatu visi dimana perilaku manusia harus diarahkan kepada visinya tersebut. Pendekatan inilah yang salah satunya yang merupakan ciri yang paling menonjol dalam ilmu ekonomi Islam.
Karena itu, evaluasi kembali atas keseluruhan landasan konseptual dan melakukan perancangan ulang menjadi sangat penting. Pengujian kembali konsep dan model ekonomi yang perlu mengintegrasikan sistem nilai yang mendasari dan mengenali hubungannya dengan konteks sosial, ekonomi, budaya serta politik. Dengan demikian, sistem ekonomi sebagai satu landasan penting dalam pembangunan ekonomi sudah seharusnya mengintegrasikan positivisme dan normativisme. Antara pertimbangan rasional dan nilai atau moral. Di samping juga tidak melepaskan dari kenyataan historis-aspiratif, filosofis, dan faktor manusianya.
*) Penulis adalah staf pengajar FE UNU NTB
Post a Comment