![]() |
Hakikat dari Ekonomi Islam adalah Tauhid, yaitu keyakinan mutlak akan keesaan Tuhan
Hakikat ekonomi Islam itu sesungguhnya berlandaskan filosofi tauhid. Yang mana setiap aktivitas ekonomi sebagai ejawantah abdi manusia pada sang empunya hidup dan manifestasi peran manusia sebagai khalifah (pengelola) di bumi. Sistem ini tidak terpisahkan dari fondasi moralitas (akhlak) dan syariah, yang bertujuan untuk mencapai maslahah (kebaikan bersama) dan keadilan. Sepuluh pilar utama—termasuk keadilan, persaudaraan, kepemilikan yang bersifat amanah, dan jaminan sosial—menjadi kerangka kerja operasionalnya. Sifat-sifat kenabian seperti integritas (shiddiq), profesionalisme (amanah), transparansi (tabligh), dan kompetensi (fatanah) membentuk karakter ideal pelaku ekonominya. Dengan demikian, hakikat ekonomi Islam bukanlah sekadar aturan, melainkan sebuah paradigma komprehensif untuk menciptakan sistem ekonomi yang adil, etis, dan berkelanjutan.
Di tengah hiruk pikuk ekonomi modern yang seringkali diukur dari angka pertumbuhan dan tumpukan keuntungan, ada sebuah pertanyaan mendasar yang kerap terabaikan: untuk siapa sebenarnya ekonomi ini bekerja? Ketika ketimpangan me-nganga, sumber daya alam terkuras, dan etika bisnis terkikis, banyak yang mulai mencari alternatif. Salah satu jawaban yang kian menggema adalah Ekonomi Islam—sebuah sistem yang menawarkan lebih dari sekadar transaksi, melainkan sebuah filosofi hidup yang utuh.
Inti yang Membedakan: Tauhid sebagai Fondasi
Hakikat dari Ekonomi Islam adalah Tauhid, yaitu keyakinan mutlak akan keesaan Tuhan. Ini bukan sekadar konsep teologis yang kaku, melainkan sebuah "kompas moral" yang memandu setiap keputusan. Dalam kerangka ini, setiap aktivitas ekonomi—dari produksi, konsumsi, hingga distribusi—bukan sekadar transaksi angka, melainkan wujud pengabdian. Manusia tidak dipandang sebagai pemilik absolut, melainkan sebagai Khalifah atau manajer yang diamanahi untuk mengelola sumber daya bumi demi kemakmuran bersama, bukan untuk segelintir orang.
Inilah yang membuat Ekonomi Islam pada dasarnya adalah sebuah filsafat moral. Ia menolak keras aktivitas ekonomi yang "kosong" dari nilai-nilai ketuhanan dan etika. Karena itu, anggapan bahwa gerakan ekonomi Islam adalah upaya politik terselubung untuk mendirikan negara Islam adalah sebuah kesalahpahaman. Sejatinya, ia adalah tawaran solusi universal di tengah krisis moralitas ekonomi global.
Peta Jalan Menuju Kesejahteraan: 10 Pilar Utama
Untuk menerjemahkan filosofi luhur ini menjadi tindakan nyata, Ekonomi Islam berdiri di atas 10 pilar fundamental yang saling melengkapi. Sepuluh pilar tersebut yakni ; 1) tauhid. Ini merupakan fondasi dari segalanya, memastikan bahwa tujuan ekonomi selaras dengan kehendak Ilahi ; 2) Maslahah (Kebaikan Bersama). Tujuan utama dari setiap kebijakan dan aktivitas ekonomi. Bukan hanya profit, tetapi manfaat nyata bagi masyarakat, lingkungan, dan terjaganya nilai-nilai luhur (agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta); 3) Adil (Keadilan): Denyut jantung sistem ini. Keadilan bukan hanya dalam distribusi kekayaan melalui zakat, infak, dan sedekah, tetapi juga dalam setiap kontrak, transaksi, dan kebijakan untuk menutup celah ketimpangan; 4) Khalifah (Kepemimpinan sebagai Amanah): Manusia adalah pengelola, bukan pemilik. Ini menuntut tanggung jawab untuk menjaga kelestarian alam dan memanfaatkannya secara bijaksana; 5) Ukhuwah (Persaudaraan). Konsep ini menempatkan semua manusia setara dan mendorong sikap altruisme (mengutamakan orang lain). Konsep ini menolak keras eksploitasi dan diskriminasi, serta menjadi dasar praktik bagi hasil yang adil; 6) Kerja dan Produktivitas. Konsep dari pilar ini bekerja dipandang sebagai ibadah dan kebajikan tertinggi. Islam mendorong umatnya untuk menjadi produktif, inovatif, dan bekerja keras dengan cara yang halal. 7) Kepemilikan (Amanah, Bukan Absolut): Hak milik diakui dan dihormati, namun bersifat titipan (amanah) dari Tuhan. Ini berarti penggunaannya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan harus dipertanggungjawabkan; 8) Kebebasan dan Tanggung Jawab. Manusia bebas berinovasi dan berusaha, namun kebebasan itu terkendali (al-hurriyah al-muqayyadah) oleh koridor syariah dan etika. Setiap pilihan bebas membawa konsekuensi tanggung jawab dunia dan akhirat; 9) Jaminan Sosial (Takaful). Sistem ini memiliki jaring pengaman sosial yang kuat. Instrumen seperti zakat dan wakaf memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang tertinggal, terutama kelompok fakir, miskin, dan rentan; 10) Nubuwwah (Karakter Kenabian).
Alhasil, ekonomi Islam bukanlah sekadar kumpulan aturan yang kaku
Point kesepuluh, pada titik ini, pelaku ekonomi ideal harus meneladani sifat-sifat utama baginda Nabi yang agung—Muhammad SAW. Sifat-sifat utama nabi itu, meliputi Shiddiq (Integritas). Sifat ini merupakan jujur dan benar dalam setiap perkataan dan perbuatan. Amanah. Sifat nabi yang ini, bermakna profesionalisme-kredibilitas), yakni dapat dipercaya dan bertanggung jawab. Tabligh. Ini bermakna transparansi dan komunikatif): Terbuka dan mampu mengedukasi pasar. Fatanah. ini lekat maknanya dengan kompetensi dan kecerdasan): Cerdas, berilmu, dan mampu mengelola bisnis secara kompetitif.
Alhasil, ekonomi Islam bukanlah sekadar kumpulan aturan yang kaku atau produk masa lalu. Ia adalah sebuah mindset, sebuah paradigma hidup yang menawarkan kerangka kerja komprehensif untuk membangun peradaban ekonomi yang lebih manusiawi. Dengan memadukan spiritualitas, etika, dan keadilan dalam setiap denyut nadi aktivitasnya, ia menawarkan sebuah peta jalan menuju sistem ekonomi yang tidak hanya memakmurkan, tetapi juga memberkahi.
*) Mashur. Staf pengajar pada Fakultas Ekonomi UNU NTB
Post a Comment